Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi harus diakui mendapatkan penolakan dari berbagai Ormas yang berbasis Islam.
Walaupun banyak Ormas yang menolaknya tidak membuat hati Menteri Pendidikan tergerak untuk merevisinya. Lantas, apa yang melatarbelakangi ormas tersebut menolak Permendikbud Ristek itu? Setelah saya baca dan mencermatinya, akhirnya ditemukanlah jawabannya.
Ormas-ormas yang menolak Permendikbud Ristek No 30/2021 sebenarnya tidak menolak seluruh isinya melainkan ormas-ormas itu hanya menolak frasa "Tanpa Persetujuan Korban" yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (2).
Mereka menilai (ormas) frasa "Tanpa Persetujuan Korban" mengandung makna bahwa perbuatan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi sah dilakukan apabila mendapatkan persetujuan korban dan sebaliknya perbuatan seksual tidak sah dilakukan kalau korbannya tidak menyetujui.
Sejujurnya saya pun sepemikiran dengan penafsiran yang dilontarkan oleh ormas-ormas tersebut karena dalam Permendikbud Ristek No 30/2021 itu tidak dijelaskan secara terang dan jelas makna dari frasa "Tanpa Persetujuan Korban" jadi wajar saja kalau ada perbedaan penafsiran.
Polemik soal Permendikbud Ristek itu sebenarnya sangat mudah diselesaikan kalau Menteri Pendidikan sedikit menurunkan egonya dengan cara merevisi dan menghapus frasa "Tanpa Persetujuan Korban" yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (2). Kalau frasa itu dihapus saya meyakini ormas-ormas yang menolak Permendikbud Ristek akan berbalik arah mendukung.
Jika frasa itu tetap dipertahankan polemik Permendikbud Ristek No 30/2021 saya pikir tidak akan berakhir, kalaupun berakhir butuh waktu yang lama dan akibatnya implementasi Permendikbud Ristek tidak akan berjalan efektif di lingkungan Perguruan Tinggi karena masih ada pro dan kontranya.
(Sekian & Terimakasih)
Luar pengamat Kemendikbud
BalasHapusPosting Komentar